Tahun 2020 sangatlah unik dan perlu dituliskan sebagai cerita anak cucu kelak. Keunikan di tahun kembar ini saya mengambil Pandemi sebuah virus yang tak hanya berada di sebuah kampung saja, namun sudah melebar di belahan dunia. Percaya dan tidak percaya Covid ini entah ada atau tidak bagaikan kita bercerita tentang dunia lain yang tak kasat mata.
Jika memiliki ilmu tentang medis, pastinya kita akan memahami sebuah "covid", namun ilmu medis saya pun tak cukup untuk merambah di tema ataupun sub-sub tema covid ini.
Awal tahun perjalanan menuju Surabaya dan dilanjutkan ke Sumba, NTT. Saya memantau perkembangan virus melalui media sosial walaupun sinyal dan televisi sangat sangat terbatas disana. Tepat sebelum saya pulang mendengar kabar bahwa salah satu mentri terkena virus tersebut dan tiba saatnya harus pulang menuju Sleman, Yogyakarta.
Tiga hari sesampainya di Sleman, sebuah event dari EO harus kami siapkan dan jalankan. Persiapan sampai dengan hari H di sebuah tempat, terjadwal pagi pukul 09:00 WIB harusnya perjalanan rombongan sudah sampai ke lokasi. Namun kami masih belum jelas kabar terbaru apakah kedatangan peserta akan tetap berlanjut atau gagal? Mengingat Jawa Tenggah sudah keluar maklumat untuk tidak melaksanakan kegiatan.
Hari terus kami lewati, hampir semua kampung tertutup aksesnya dan masyarakat juga berdiam dirumah untuk menghindari penyebaran covid. Perilaku hidup bersih dan sehat semua individu disini wajib dilakukan oleh setiap orang. Bagus, senang karena semua sadar akan hal tersebut. Namun, akhir ini kok sudah kembali ke kebiasaan lama. Bisakah hal itu mendarah daging untuk terus dilakukan? Ini PR besar diri saya dan semua sih ya
Tibalah pemerintah mengelontorkan bantuan bantuan untuk yang terkena dampak Covid ini. Masyarakat pun gayeng jika membahas hal ini secara detail, namun saya tidak akan mengungkap hal itu disini.
Pajak, tagihan listrik dll, mendapatkan keringanan juga, namun sejatinya pembayar pajak di Indonesia semua KK. Semua setor ke Negara untuk pajak tersebut.
Namun, saya sangat bersyukur terlahir dari ayah dan ibu yang dari kecil sudah mendoktrin untuk jangan berharap bantuan kepada Negara. Yang paling penting awakdewe due beras, iso ngliwet, makan sak anane le, nek iso ojo nganti due utang barang yo."ucap ayah". Kata itu dari saya kecil selalu kami ingat betul.
Betul sekali petuah itu, saya jalankan dan hati pikiran tak pernah berharap bantuan dari pemerintah. Walapun kami menerima bantuan pemerintah dapat dihitung, baik gas melon, bantuan gempa bumi 2006, bantuan bebas biaya listrik saat ini. Namun kami sudah bersyukur, Allah memberi kami sehat, keluarga yang bahagia.
Ampun gelisah terkait bantuan, berfikir jernih supaya tidak menimbulkan sakit. Karena sejatinya jika kita mengumpulkan sakit demi sedikit beberapa tahun kedepan akan mengendap dan semakin banyak. Disitu kita akan memanen sakit tersebut. Sik tenang ya brooo ampun meri...